Pagi tadi sekitar pukul 10.00wib cuaca di serang sangatlah
mendung. Ketika itu saya tengah sibuk merakit sepeda saya. Saya di temani oleh
adik saya yg paling bungsu. Sipenggangu kecil saya ini berusaha membantu
pekerjaan saya. Tapi, di usianya yg menjelang 10 tahun itu, tingkahlakunya
lebih mendekati perusuh yg sedang memporak porandakan perkakas saya yg berada
di sisi saya.
Dan ketika adik saya sedang sibuk membongkar paksa isi
perkakas saya yg tersusun di dalam kotak perkakas. Tiba tiba kesibukannya
terhenti seketika suaranya menangkap bunyi lonceng kecil berdenting-denting, seorang tukas es keliling tengah lewat di depan rumah saya.
Penjual es situ seorang kakek tua yg berjalan kaki sambil menuntun sepeda
sambil tangannya memegang kotak yg terbuat dari kayu dan papan tripleks yg di
cat warna kuning dan di tulis dengan tulisan cat yg sederhana bertuliskan “ES
LILIN”.
Seperti menuntut sebuah tindakan penghentian, adik saya
mulai merengek rengek minta untuk di belikan, seperti menuntut sebuah upah dari
hasil bongkar bongkarnya tadi, mulanya ritme tempo rengekannya masih terdengar
lama karena si kakek penjual itu juga masih jauh, namun adik saya mulai
mempercepat ritme tempo rengekannya menjadi lebih cepat dan keras dan berulang ulang
tanpa ada tanda diam, rewel sekali ini bocah, pikir saya dalam hati. Aku pun
langsung menjerit memanggil kakek penjual es tadi, tanpa harus mengulang kedua
kalinya, kake penjual es keliling itu pun langsung terhenti seketika menoleh
tersenyum kepadaku dan adiku.
Jujur sebenarnya aku tidak mau memanggil si penjual es
keliling itu, selalin saya tidak suka es, adiku ini baru saja sembuh dari sakit
pilek yg ia derita kemarin, namun entah kenapa begitu aku melihatsi kake tadi
yanglewat,ada sebuah dorongan batin untuk segera memanggilnya, padhal baru kali
ini aku melihat dan membeli dagangannya itu,dan benar dagangan esnya juga
biasa-biasa saja. Sebuah es lilin yang di buat sendiri dengan berbagai macam
warna dan rasa sebagai bahan penarik hati anak-anak. Tapi cara kake mendagangkan
jualannya dengan cara yg tidak wajar yaitu mendorong sepedanya yangmembuat aku
jadi tertarik, sekaligus prihatin.
“sepeda bapak bannya bocor yh?” tanyaku sambil mendatanginya.
“enggak nak, kedua bannya dalam keadaan bagus kok”.
“Kenapa di dorong pak?, kan lebih baik di naiki biar gak
capek”
“ahh.. enggak nak, udah biasa. Malah enakan begini,
hitung-hitug olahraga, oh ya adik kecil ini mau beli es yang mana ada yg bulat
dan yg petak loh, ayoo pilih yg mana?”
Ujar kakek itu sambil membuka boks kayu tempat es lilinya di
simpan. Saya liahat pinggirannya ada 4 buah ice bag berukuran sedang sebagai
pendinginnya sebuah upaya untuk menahan agar es nya tidak mencair dan
tetapdalam kondisi utuh. Setelah mendapatkan es yg dia mau adiku langsung
ngacir ke dalam rumah, sesaat kemudian saya mendengar suara ibu saya yg
berteriak kecil menandakan dia kurang setuju dengan keputuasan yang aku ambil
dengan membelikannya es lilin di saat yang kurang tepat, aku tersenyum,
nantilah ku bahas kembali.
“berapa harga esnya pak?”
“Seribu dek”
“ahh yang bener, kok murah banget pak?
“ya memang biasa dijualharganya segitu de”
saya merogoh jantong celana saya,mencari uang pecahan
seribu/dua ribu, tapi saya tidak menemukannya. Kulihat hanya ada pecahan uang
Rp.20.000,- dan Rp.50.000,- saja. Maklum tadi baru mecahin duit Rp.100.000,-
buat onderdil sepeda. Wahhh masalah nih dalam hati saya, tidak mungkin saya sodorkan
uang Rp.20.000,- ini kepada si kakek, apalagi yang seperduapuluh atau
seperlimapuluh uang yg saya berikan.
“kakek tinggalnya dimana kek?’ Tanya saya, beeusaha
mengulur-ulur waktu sambil berfikir apakah saya harus memberikan uang pecahan
Rp.20.000,- ini ataukah memanggil ibu saya untuk mengambil uang pecahan seribu
atau setidaknya uang pecahan Rp.2000,- atau Rp. 5000,-
“saya dari daerah kramatwatu nak”
“hah?? Dari kramatwatu?? Itu kan lumayan jauh pak?? Dan
bapak dari rumah sampe sini menuntun sepeda seperti ini dalam berjualan?”
“iyah nak, tapi sesekali kalau di jalan saya naikin”
jawabnya santai sambil menutup boks dagangannya.
“lalu sejak berangkat dari rumah sudah banyak yg laku pak?”
Tanya saya.
Ya.. baru adik kamu itu yg beli tadi, dialah pembuka dasar
jualan saya hari ini”
Entah kenapa mata saya terasa sangat pedih, padahal tidak
banyak angin dan abu yang berterbangan, tapi entah kenapa mata ini terasa
sangat panas dan ingin saja mengeluarkan air mata. Tapi cepat-cepat ku tahan
walaupun aku sangat yakin ada beberapa tetes yang mungkin telah jatuh di pipi
saya. Saya cepat –cepat merogoh kantong celana saya, saya tidak ingin terlihat
konyol di mata si kakek ini. Niat saya untuk memanggil ibu saya untuk mencari
pecahan 2000,- segera saya batalkan, entah kenapa pengakuanku polos si kakek
ini telah membuat saya sangat terharu kemudian dengan hati yg sangat ikhlas
saya mengeluarkan uang pecahan 20.000,- dari kantong saya, saya berniat
memberikan saja uang ini dan tidak usah mengembalikan kembalianya.
“ini pak uang es tadi”. Kata saya dengan sedikt gemetar.
Karena antara menahan haru dan panasnya kelopak mata saya ini.
“waduh nak, ini uangnya besar sekali, saya mana ada
kembaliannya, wong ini masih buka dasar” ujar si kakek dengan tersenyum namun
kali ini agak kecut karena memang ini adalah sebuah masalah baginya yang memang
belum punya uang kembalian. Aku memang sudah menebaknya jauh dari tadi, namun
aku hanya tersenyum.
“gak usah di kembaliin pak, kembaliannya untuk bapak saja”
Ah… gak nak, kasih saja saya uang seribu, bapak gak mau”
“gak apa-apa pak, ini buat bapak saja. Saya ikhlas kok”
jawab saya sambil tersenyum melipat uang itu dan meletakannya di telapak tangan
si kakek, kemudian melipatkan semua jari jemari tangan si kakek menutupi uang
20.000,- tadi.
“tapi maaf nak, bapak emang tidak mau, bapak Cuma perlu uang
seribu saja. Ini kebanyakan”
Kakek tadi malah memberikan kembali uang itu sama kepada
saya, saya sedikit mengerutkan kedua alis mata saya, nih kakek aneh bener sih
kok di beri malah tidak mau terima dalam hati saya. Apa ,ungkin nilai
nominalnya terlalu kecil? Atau apakah tadi dia melihat saya mempunyai uang
50.000,- lagi di dalam kantong celana saya ini? Wahhh kalau si kake itu
melihatku mempuyai uang 50.000,-pada saat aku sedang mencari pecahan uang kecil
tadi, berarti nih kakek gak mau uang 20.000,- dia menolaknya karena sia pengen
uang dengan nominal yang lebih besar lagi, kalau bener-bener iya, wahhh…
kelewatan nih kakek. Tapi aku pun tersenyum dalam hati, iya juga sih, masa
prihatin sama orang tapi msih perhitungan dalam memberi? Akhirnya sayapun
merogoh uang 50.000,- dari kantong celana saya lalu memberikannya kepada si
kakek.
“ini pak, saya tambahin lagi, itung-itung untuk nambahin
modal bapak jualan” ucap saya tersenyum
lalu melipat uang 20.000,- tadi berikut uang 50.000,-nya kemudian memberikannya
kepada si kakek penjual es keliling itu, kali ini kake menerimanya dengan wajah
tersenyum, kali ini senyumnya malah makin lebar. Kali ini dugaan saya hmapir
100% benar bahwa si kakek menginginkan nominal yang lebih besar lagi, dan
manakala uang itu tibs-tiba sudahberpindah kembali ke tangan saya, dugaanku yg
100% pula telah meleset. Ia benar benar tidak mau menerimanya. Aku tersentak
kaget, seumur umur aku memberikan sedekah kepada orang-orang yg kulihat layak
gak pernah di tolak.
“maaf nak, bukannya saya sombong dan menolak niat baik hati
kamu memberikan uang ini kepada bapak,
tapi saya hanya meminta uang seribu rupiah saja, itu sudah cukup bagi
saya.”
“tapi pak saya kan ikhlas?”
“benar nak, dari sorot mata kamu saya menangkap keikhlasan
di sana, tapi keikhlasan itu muncul karena ada rasa kasihan kamu sama saya, dan
saya gak bisa menerimanaya.”
Loh.. kenapa pak? Bukannya kita memberikan sesuatu itu
karena di dasari rasa iba dan kasihan?” jawabku berusaha melakukan pembelaan.
“bener dek, kamu tidak salah, pendapatmu itu benar, tapi itu
lebih pantas kamu berikan kepada para fakir miskin, anak yatim yg miskin dan
peminta minta yg memang sangat sangat membutuhkannya. Saya ini seorang pedagang
nak, bukannya peminta minta, aku kmasih sanggup mencari nafkah untuk diriku dan
keluarga saya sendiri dan cukuplah Allah saja yang mengasihani saya, bukan
manusia.
DEG! Jantung saya terasa mau copot, ini kakek omongannya
sangat bijak sekali?
“ya,, tapi menurut saya bapak pantas mendapatkan uang ini,
ya setidaknya sebuah penilaian simpati dari saya.memang tadi saya memberikannya
atas dasar kasihan, tapi sekarang rasa simpati dari saya menjadi lebih besar
dari pada rasa kasihan saya demi melihat semangat bapak dalam mencari nafkah
walaupun usianya sudah tua.”
“hehe.. terima kasih nak, tapi bapak tidak mau simpati orang
kepada bapak, aku hanya mau orang suka dan ikhlas membeli dagangan bapak ini,
seperti adik kamu tadi”. Kakek itu tertawa lebar. Saya lihat kembali giginya
yang tinggal empat itu, saya mau tersenyum di buatnya namun saya tahan.
“ya udah pak, kalau bapak tidak mau menerima uang pemberian
dari saya, saya borong ajh deh semua es yang bapak jual ini senilai nominal
uang yang ada sama saya sekarang?’’ ucap saya sedikit keras bicaranya, dan kake
itu pun kembali tersenyum.
“kamu ini memang pintar nak, tapi itu namanya kamu menuruti
hawanafsu kamu dalam membantu orang lain nak, itu tidak baik nak. Allah pasti
kurang suka dengan cara kamu tersebut, begitu juga bapak”.
“tapi ini kan saya membelinya pak? Apa maslahnya?”
“hehe.. mau kamu apakan 69 es lilin lainnya ini? Memakannya
ramai-ramai di rumah kamu? Atau mau kamu bagi-bagi kan kepada semua anak-anak
tetanggamu yang belum tentu mereka menerimanya karena takut anaknya menjadi
pilek dan ingusan, atau jangan-jangan akan segera kamu buang setelah aku pergi
dari tempatmu ini?”
Wah.. aku semakin ngeri aja melihat kakek penjual es ini,
dia ini manusia apa bukan ya?? Jangan-jangan malaikat, atau mahkluk Allah
lainnya yang menyamar hanya untuk memberi pelajaran buat saya? Semakin saya
berdebat dengannya semakin asaya kalah.
“baiklah nak, saya tidak ingin berpanjang lebar sam kamu
lagi, bukannya saya tidak suka, tapi saya masih harus berjualan lagi, kamu
bayar saja es yg di ambil adikmu atadi. Itu udah lebih dari cukup bagiku dari
pada ini semua”. Ucap si kakek penjual es tadi, sambil mengambil ancang-ancang
hendak beranjak pergi. Saya menjerit berteriak memanggil ibu saya di dalam, dan
begitu teriakan saya di balas dengan ibu saya, saya langsung masuk kedalam
untuk mengambil uang pecahan 5000,- dari beliau. Saya langsung menyerahkan uang
tersebut kepada si kakek.
“baiklah pak, aku beli 4 es lagi yh, kali ini niat saya
bener-bener tulus, untuk saya ibu saya dan bapak sayam serta adik saya 1 lagi
yg lagi sekolah.”
“Ehhh.. mamah gak yu, giginya ngilu kalau makan es, 3 ajah
pak.” Teriak mamah saya yg tidak mengerti apapa itu langsung menolaknya. Dan
kulihat si kakek itu tersenyum melihatnya dan kemudian tersenyum juga sama
saya.
“kalau ibu saya menolaknya saya mau makan 2 sekaligus pak,
dan ini ikhlas!” ucap saya tersenyum kecut. Saya tidak tau si kakek penjual ini
berubah fikiran lagi. Bisa semakin rumit nanti ceritanya.
“baiklah nak, kalau begitu bapak pergi dulu. Sudah hamper
siang, bapak takut anak-anak sekolah langganan bapak di kampong seberang sana
sudah lama menunggu” ujar si kakek sambil mulai segera berjalan menuntun
sepedanya.
“nanti-nanti, tunggu sebentar pak, saya boleh meminta
sesuatu pak?”
“loh.. Apa itu?”
“saya Cuma pengen cium tangan bapak”
Si kakek penjual es itu berhenti dan terdiam seketika itu
juga saya langsung mengambil tangan kanannyadan menciumnya, kakek itu tersenyum
keheranan sambil matanya melirik kesekelilingnya termasuk ibu sayayang
terpengangah keheranan melihat aksi saya itu.
“datanglah setiap hari melewati rumah kami pak, singgah dan
beristirahatlah jika engkau merasa lelah berjalan, kami akan selalu berlangganan
es dengan bapak. Tapi apabila bapak hanya sekali ini saja melewati rumah saya,
do’akanlah saya agar saya bisa menjadi seorang muslim yang berpendirian seteguh
pendirian bapak”.
“insya Allah.. “ itulah kata kata terakhir yang asaya
tangkap dari bibirnya ketika saya melepaskan ciuman di tangannya, todak ada
kata-kata terima kasih dan basa-basi lainnya. Ia hanya berjalan terus kedepan
dengan menuntun sepedanya yang sudah terlihat tua, dengan beralaskan sepasang
sandal sjepit ia terus melangkah, sebuah kesederhanaan yang sangat-sangat
sederhana, namun siapa sangka ia mempunyai kepribadian yang sangat kaya,
melebihi kayanya hati para konglomerat yang masih saja merasa haus kurang atas
rizki yang telah Allah berikan secara berlimpah ruah. Seorang muslim yang
memiliki keteguhan hati dalam hidup yang tidak suka di kasihani orang lain,
cukup Allah saja yang mengasihaninya, sangatlah jarang bisa di temui
orang-orang yang memiliki keteguhan hati seperti kakek penjual es tadi. Apalagi
orang yg jujur.
Saya masih terduduk disini, di depan laptop saya, menuliskan
kisah ini, manakala ibu saya memanggil saya untuk segera mengingatkan kenapa es
lilin yang tadi belum juga di makan, padahal adik saya sudah mengincar jatah
kaknya sendiri yang tinggal satu-satunya itu karena jatah adik saya satu lagi
telah habis di lahap olehnya, sepertinya satu saja tidak cukup baginya. Adiku
saja suka memakan es lilin buatan si kakek itu, apalagi aku yg maasih terlaulu
sayang memakan es lilin jatah saya itu karena saya masih ingin menikmati
pembicaraan yang sangat berkesan sekali di dalamhati saya ini. Sungguh saya
akan memakan es itu besok harinya kalau saya melihat si kakek itu lewat lagi di
depan rumah saya, kemudian ngobrol-ngobrol memesannya lagi kepadanya, tapi jika
besok si kakek itu tidak muncul, saya akan tetsp menyimpannya dan melarang
adik-adik daya unutuk memakannya sampai saatnya aku siap memakan es tersebut,
bukannya sirik, tapi saya tidak ingin cepat-cepat menghilangkan kisah dan
kenangan saya dengan si kakek penjual es lilin keliling yang penuh misteri dan
kaya ilmu tersebut hari ini.
Cukup sekian artikel yg saya buat hari ini, semoga bisa
memberi sedikit pengaruh lebih baik kepada pembaca, ambil sisi positfnya saja.
Terima kasih sudah membaca, tulis kritik dan sarannya di kolom komentarnya yah…
HONTOU ARIGATOU GOZAIMASSUUU… J