Entri Populer

Kamis, 28 Agustus 2014

PENJUAL ES BERHATI MALAIKAT



Pagi tadi sekitar pukul 10.00wib cuaca di serang sangatlah mendung. Ketika itu saya tengah sibuk merakit sepeda saya. Saya di temani oleh adik saya yg paling bungsu. Sipenggangu kecil saya ini berusaha membantu pekerjaan saya. Tapi, di usianya yg menjelang 10 tahun itu, tingkahlakunya lebih mendekati perusuh yg sedang memporak porandakan perkakas saya yg berada di sisi saya.
Dan ketika adik saya sedang sibuk membongkar paksa isi perkakas saya yg tersusun di dalam kotak perkakas. Tiba tiba kesibukannya terhenti seketika suaranya menangkap bunyi lonceng kecil   berdenting-denting, seorang tukas es  keliling tengah lewat di depan rumah saya. Penjual es situ seorang kakek tua yg berjalan kaki sambil menuntun sepeda sambil tangannya memegang kotak yg terbuat dari kayu dan papan tripleks yg di cat warna kuning dan di tulis dengan tulisan cat yg sederhana bertuliskan “ES LILIN”.
Seperti menuntut sebuah tindakan penghentian, adik saya mulai merengek rengek minta untuk di belikan, seperti menuntut sebuah upah dari hasil bongkar bongkarnya tadi, mulanya ritme tempo rengekannya masih terdengar lama karena si kakek penjual itu juga masih jauh, namun adik saya mulai mempercepat ritme tempo rengekannya menjadi lebih cepat dan keras dan berulang ulang tanpa ada tanda diam, rewel sekali ini bocah, pikir saya dalam hati. Aku pun langsung menjerit memanggil kakek penjual es tadi, tanpa harus mengulang kedua kalinya, kake penjual es keliling itu pun langsung terhenti seketika menoleh tersenyum kepadaku dan adiku.
Jujur sebenarnya aku tidak mau memanggil si penjual es keliling itu, selalin saya tidak suka es, adiku ini baru saja sembuh dari sakit pilek yg ia derita kemarin, namun entah kenapa begitu aku melihatsi kake tadi yanglewat,ada sebuah dorongan batin untuk segera memanggilnya, padhal baru kali ini aku melihat dan membeli dagangannya itu,dan benar dagangan esnya juga biasa-biasa saja. Sebuah es lilin yang di buat sendiri dengan berbagai macam warna dan rasa sebagai bahan penarik hati anak-anak. Tapi cara kake mendagangkan jualannya dengan cara yg tidak wajar yaitu mendorong sepedanya yangmembuat aku jadi tertarik, sekaligus prihatin.
“sepeda bapak bannya bocor yh?” tanyaku sambil mendatanginya.
“enggak nak, kedua bannya dalam keadaan bagus kok”.
“Kenapa di dorong pak?, kan lebih baik di naiki biar gak capek”
“ahh.. enggak nak, udah biasa. Malah enakan begini, hitung-hitug olahraga, oh ya adik kecil ini mau beli es yang mana ada yg bulat dan yg petak loh, ayoo pilih yg mana?”
Ujar kakek itu sambil membuka boks kayu tempat es lilinya di simpan. Saya liahat pinggirannya ada 4 buah ice bag berukuran sedang sebagai pendinginnya sebuah upaya untuk menahan agar es nya tidak mencair dan tetapdalam kondisi utuh. Setelah mendapatkan es yg dia mau adiku langsung ngacir ke dalam rumah, sesaat kemudian saya mendengar suara ibu saya yg berteriak kecil menandakan dia kurang setuju dengan keputuasan yang aku ambil dengan membelikannya es lilin di saat yang kurang tepat, aku tersenyum, nantilah ku bahas kembali.
“berapa harga esnya pak?”
“Seribu dek”
“ahh yang bener, kok murah banget pak?
“ya memang biasa dijualharganya segitu de”
saya merogoh jantong celana saya,mencari uang pecahan seribu/dua ribu, tapi saya tidak menemukannya. Kulihat hanya ada pecahan uang Rp.20.000,- dan Rp.50.000,- saja. Maklum tadi baru mecahin duit Rp.100.000,- buat onderdil sepeda. Wahhh masalah nih dalam hati saya, tidak mungkin saya sodorkan uang Rp.20.000,- ini kepada si kakek, apalagi yang seperduapuluh atau seperlimapuluh uang yg saya berikan.
“kakek tinggalnya dimana kek?’ Tanya saya, beeusaha mengulur-ulur waktu sambil berfikir apakah saya harus memberikan uang pecahan Rp.20.000,- ini ataukah memanggil ibu saya untuk mengambil uang pecahan seribu atau setidaknya uang pecahan Rp.2000,- atau Rp. 5000,-
“saya dari daerah kramatwatu nak”
“hah?? Dari kramatwatu?? Itu kan lumayan jauh pak?? Dan bapak dari rumah sampe sini menuntun sepeda seperti ini dalam berjualan?”
“iyah nak, tapi sesekali kalau di jalan saya naikin” jawabnya santai sambil menutup boks dagangannya.
“lalu sejak berangkat dari rumah sudah banyak yg laku pak?” Tanya saya.
Ya.. baru adik kamu itu yg beli tadi, dialah pembuka dasar jualan saya hari ini”
Entah kenapa mata saya terasa sangat pedih, padahal tidak banyak angin dan abu yang berterbangan, tapi entah kenapa mata ini terasa sangat panas dan ingin saja mengeluarkan air mata. Tapi cepat-cepat ku tahan walaupun aku sangat yakin ada beberapa tetes yang mungkin telah jatuh di pipi saya. Saya cepat –cepat merogoh kantong celana saya, saya tidak ingin terlihat konyol di mata si kakek ini. Niat saya untuk memanggil ibu saya untuk mencari pecahan 2000,- segera saya batalkan, entah kenapa pengakuanku polos si kakek ini telah membuat saya sangat terharu kemudian dengan hati yg sangat ikhlas saya mengeluarkan uang pecahan 20.000,- dari kantong saya, saya berniat memberikan saja uang ini dan tidak usah mengembalikan kembalianya.
“ini pak uang es tadi”. Kata saya dengan sedikt gemetar. Karena antara menahan haru dan panasnya kelopak mata saya ini.
“waduh nak, ini uangnya besar sekali, saya mana ada kembaliannya, wong ini masih buka dasar” ujar si kakek dengan tersenyum namun kali ini agak kecut karena memang ini adalah sebuah masalah baginya yang memang belum punya uang kembalian. Aku memang sudah menebaknya jauh dari tadi, namun aku hanya tersenyum.
“gak usah di kembaliin pak, kembaliannya untuk bapak saja”
Ah… gak nak, kasih saja saya uang seribu, bapak gak mau”
“gak apa-apa pak, ini buat bapak saja. Saya ikhlas kok” jawab saya sambil tersenyum melipat uang itu dan meletakannya di telapak tangan si kakek, kemudian melipatkan semua jari jemari tangan si kakek menutupi uang 20.000,- tadi.
“tapi maaf nak, bapak emang tidak mau, bapak Cuma perlu uang seribu saja. Ini kebanyakan”
Kakek tadi malah memberikan kembali uang itu sama kepada saya, saya sedikit mengerutkan kedua alis mata saya, nih kakek aneh bener sih kok di beri malah tidak mau terima dalam hati saya. Apa ,ungkin nilai nominalnya terlalu kecil? Atau apakah tadi dia melihat saya mempunyai uang 50.000,- lagi di dalam kantong celana saya ini? Wahhh kalau si kake itu melihatku mempuyai uang 50.000,-pada saat aku sedang mencari pecahan uang kecil tadi, berarti nih kakek gak mau uang 20.000,- dia menolaknya karena sia pengen uang dengan nominal yang lebih besar lagi, kalau bener-bener iya, wahhh… kelewatan nih kakek. Tapi aku pun tersenyum dalam hati, iya juga sih, masa prihatin sama orang tapi msih perhitungan dalam memberi? Akhirnya sayapun merogoh uang 50.000,- dari kantong celana saya lalu memberikannya kepada si kakek.
“ini pak, saya tambahin lagi, itung-itung untuk nambahin modal bapak jualan”  ucap saya tersenyum lalu melipat uang 20.000,- tadi berikut uang 50.000,-nya kemudian memberikannya kepada si kakek penjual es keliling itu, kali ini kake menerimanya dengan wajah tersenyum, kali ini senyumnya malah makin lebar. Kali ini dugaan saya hmapir 100% benar bahwa si kakek menginginkan nominal yang lebih besar lagi, dan manakala uang itu tibs-tiba sudahberpindah kembali ke tangan saya, dugaanku yg 100% pula telah meleset. Ia benar benar tidak mau menerimanya. Aku tersentak kaget, seumur umur aku memberikan sedekah kepada orang-orang yg kulihat layak gak pernah di tolak.
“maaf nak, bukannya saya sombong dan menolak niat baik hati kamu memberikan uang ini kepada bapak,  tapi saya hanya meminta uang seribu rupiah saja, itu sudah cukup bagi saya.”
“tapi pak saya kan ikhlas?”
“benar nak, dari sorot mata kamu saya menangkap keikhlasan di sana, tapi keikhlasan itu muncul karena ada rasa kasihan kamu sama saya, dan saya gak bisa menerimanaya.”
Loh.. kenapa pak? Bukannya kita memberikan sesuatu itu karena di dasari rasa iba dan kasihan?” jawabku berusaha melakukan pembelaan.
“bener dek, kamu tidak salah, pendapatmu itu benar, tapi itu lebih pantas kamu berikan kepada para fakir miskin, anak yatim yg miskin dan peminta minta yg memang sangat sangat membutuhkannya. Saya ini seorang pedagang nak, bukannya peminta minta, aku kmasih sanggup mencari nafkah untuk diriku dan keluarga saya sendiri dan cukuplah Allah saja yang mengasihani saya, bukan manusia.
DEG! Jantung saya terasa mau copot, ini kakek omongannya sangat bijak sekali?
“ya,, tapi menurut saya bapak pantas mendapatkan uang ini, ya setidaknya sebuah penilaian simpati dari saya.memang tadi saya memberikannya atas dasar kasihan, tapi sekarang rasa simpati dari saya menjadi lebih besar dari pada rasa kasihan saya demi melihat semangat bapak dalam mencari nafkah walaupun usianya sudah tua.”
“hehe.. terima kasih nak, tapi bapak tidak mau simpati orang kepada bapak, aku hanya mau orang suka dan ikhlas membeli dagangan bapak ini, seperti adik kamu tadi”. Kakek itu tertawa lebar. Saya lihat kembali giginya yang tinggal empat itu, saya mau tersenyum di buatnya namun saya tahan.
“ya udah pak, kalau bapak tidak mau menerima uang pemberian dari saya, saya borong ajh deh semua es yang bapak jual ini senilai nominal uang yang ada sama saya sekarang?’’ ucap saya sedikit keras bicaranya, dan kake itu pun kembali tersenyum.
“kamu ini memang pintar nak, tapi itu namanya kamu menuruti hawanafsu kamu dalam membantu orang lain nak, itu tidak baik nak. Allah pasti kurang suka dengan cara kamu tersebut, begitu juga bapak”.
“tapi ini kan saya membelinya pak? Apa maslahnya?”
“hehe.. mau kamu apakan 69 es lilin lainnya ini? Memakannya ramai-ramai di rumah kamu? Atau mau kamu bagi-bagi kan kepada semua anak-anak tetanggamu yang belum tentu mereka menerimanya karena takut anaknya menjadi pilek dan ingusan, atau jangan-jangan akan segera kamu buang setelah aku pergi dari tempatmu ini?”
Wah.. aku semakin ngeri aja melihat kakek penjual es ini, dia ini manusia apa bukan ya?? Jangan-jangan malaikat, atau mahkluk Allah lainnya yang menyamar hanya untuk memberi pelajaran buat saya? Semakin saya berdebat dengannya semakin asaya kalah.
“baiklah nak, saya tidak ingin berpanjang lebar sam kamu lagi, bukannya saya tidak suka, tapi saya masih harus berjualan lagi, kamu bayar saja es yg di ambil adikmu atadi. Itu udah lebih dari cukup bagiku dari pada ini semua”. Ucap si kakek penjual es tadi, sambil mengambil ancang-ancang hendak beranjak pergi. Saya menjerit berteriak memanggil ibu saya di dalam, dan begitu teriakan saya di balas dengan ibu saya, saya langsung masuk kedalam untuk mengambil uang pecahan 5000,- dari beliau. Saya langsung menyerahkan uang tersebut kepada si kakek.
“baiklah pak, aku beli 4 es lagi yh, kali ini niat saya bener-bener tulus, untuk saya ibu saya dan bapak sayam serta adik saya 1 lagi yg lagi sekolah.”
“Ehhh.. mamah gak yu, giginya ngilu kalau makan es, 3 ajah pak.” Teriak mamah saya yg tidak mengerti apapa itu langsung menolaknya. Dan kulihat si kakek itu tersenyum melihatnya dan kemudian tersenyum juga sama saya.
“kalau ibu saya menolaknya saya mau makan 2 sekaligus pak, dan ini ikhlas!” ucap saya tersenyum kecut. Saya tidak tau si kakek penjual ini berubah fikiran lagi. Bisa semakin rumit nanti ceritanya.
“baiklah nak, kalau begitu bapak pergi dulu. Sudah hamper siang, bapak takut anak-anak sekolah langganan bapak di kampong seberang sana sudah lama menunggu” ujar si kakek sambil mulai segera berjalan menuntun sepedanya.
“nanti-nanti, tunggu sebentar pak, saya boleh meminta sesuatu pak?”
“loh.. Apa itu?”
“saya Cuma pengen cium tangan bapak”
Si kakek penjual es itu berhenti dan terdiam seketika itu juga saya langsung mengambil tangan kanannyadan menciumnya, kakek itu tersenyum keheranan sambil matanya melirik kesekelilingnya termasuk ibu sayayang terpengangah keheranan melihat aksi saya itu.
“datanglah setiap hari melewati rumah kami pak, singgah dan beristirahatlah jika engkau merasa lelah berjalan, kami akan selalu berlangganan es dengan bapak. Tapi apabila bapak hanya sekali ini saja melewati rumah saya, do’akanlah saya agar saya bisa menjadi seorang muslim yang berpendirian seteguh pendirian bapak”.
“insya Allah.. “ itulah kata kata terakhir yang asaya tangkap dari bibirnya ketika saya melepaskan ciuman di tangannya, todak ada kata-kata terima kasih dan basa-basi lainnya. Ia hanya berjalan terus kedepan dengan menuntun sepedanya yang sudah terlihat tua, dengan beralaskan sepasang sandal sjepit ia terus melangkah, sebuah kesederhanaan yang sangat-sangat sederhana, namun siapa sangka ia mempunyai kepribadian yang sangat kaya, melebihi kayanya hati para konglomerat yang masih saja merasa haus kurang atas rizki yang telah Allah berikan secara berlimpah ruah. Seorang muslim yang memiliki keteguhan hati dalam hidup yang tidak suka di kasihani orang lain, cukup Allah saja yang mengasihaninya, sangatlah jarang bisa di temui orang-orang yang memiliki keteguhan hati seperti kakek penjual es tadi. Apalagi orang yg jujur.
Saya masih terduduk disini, di depan laptop saya, menuliskan kisah ini, manakala ibu saya memanggil saya untuk segera mengingatkan kenapa es lilin yang tadi belum juga di makan, padahal adik saya sudah mengincar jatah kaknya sendiri yang tinggal satu-satunya itu karena jatah adik saya satu lagi telah habis di lahap olehnya, sepertinya satu saja tidak cukup baginya. Adiku saja suka memakan es lilin buatan si kakek itu, apalagi aku yg maasih terlaulu sayang memakan es lilin jatah saya itu karena saya masih ingin menikmati pembicaraan yang sangat berkesan sekali di dalamhati saya ini. Sungguh saya akan memakan es itu besok harinya kalau saya melihat si kakek itu lewat lagi di depan rumah saya, kemudian ngobrol-ngobrol memesannya lagi kepadanya, tapi jika besok si kakek itu tidak muncul, saya akan tetsp menyimpannya dan melarang adik-adik daya unutuk memakannya sampai saatnya aku siap memakan es tersebut, bukannya sirik, tapi saya tidak ingin cepat-cepat menghilangkan kisah dan kenangan saya dengan si kakek penjual es lilin keliling yang penuh misteri dan kaya ilmu tersebut hari ini.
Cukup sekian artikel yg saya buat hari ini, semoga bisa memberi sedikit pengaruh lebih baik kepada pembaca, ambil sisi positfnya saja. Terima kasih sudah membaca, tulis kritik dan sarannya di kolom komentarnya yah… HONTOU ARIGATOU GOZAIMASSUUU… J  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar